Tetuka, putra Arya Bima seorang pande besi ternama, dibesarkan dalam lingkungan tradisi Jawa yang cukup kuat. Selain membantu ayahnya bekerja, Tetuka juga menari di grup Wayang Wong asuhan Arya Bima. Tetuka dikenal sebagai anak muda berwatak keras, sombong/arogan, dan terkesan manja. Ia “digadhang-gadhang” orangtuanya untuk menjadi seseorang berwatak kesatria yang andap asor dan nantinya mampu “menguri-uri” seni budaya Jawa, khususnya kesenian wayang orang. Namun, pada satu titik Tetuka muda mengalami kejenuhan yang luar biasa pada tari tradisi yang sejak kecil digelutinya. Darah mudanya bergejolak menolak konsepsi-konsepsi berlaku dilingkungannya. Ia ingin menjadi seseorang yang baru, Tetuka yang ingin disebut sebagai anak Jaman, pengusung modernitas.
Risang Tetuka dilatarbelakangi kisah kehidupan kesenian wayang orang di desa Pringgondani yang sekarat. Sepinya penonton menyebabkan kebangkrutan kesenian ini. Tekanan dari pemerintah kebupaten dengan menghentikan bantuan operasional dan bahkan keputusan untuk menggusur gedung wayang orang semakin kuat. Nasib wayang orang Pringgondani asuhan Arya Bima dan Arimbi bagai telur diujung tanduk. Dan harapan satu-satunya pada putra mereka seakan-akan pupus dengan melihat kebengalan Tetuka.
Pergolakan dalam diri Tetuka atas konvensi-konvensi tradisi berujung pada keputusan untuk meninggalkan rumah dan merantau ke kota. Dalam perantauannya ia bertemu dengan beragam hal yang akhirnya mengantarkannya menemukan jati dirinya. Kesulitan, tantangan, penghinaan menghasilkan perubahan besar dalam hidupnya. Hal-hal tersebut merupakan “kawah Candradimuka” yang ia harus lewati dalam proses penemuan jatidiri.
Semangat perubahan yang dibawa oleh Tetuka mencerminkan realitas generasi muda yang berani mengambil tantangan untuk memunculkan/menciptakan sesuatu yang berbeda/baru meski harus berhadapan dengan konflik-konflik dalam lingkungan sosialnya. Karena pada dasarnya hanya dengan kesulitan dan keyakinan seseorang akan mampu belajar menjadi dewasa.
Risang Tetuka dilatarbelakangi kisah kehidupan kesenian wayang orang di desa Pringgondani yang sekarat. Sepinya penonton menyebabkan kebangkrutan kesenian ini. Tekanan dari pemerintah kebupaten dengan menghentikan bantuan operasional dan bahkan keputusan untuk menggusur gedung wayang orang semakin kuat. Nasib wayang orang Pringgondani asuhan Arya Bima dan Arimbi bagai telur diujung tanduk. Dan harapan satu-satunya pada putra mereka seakan-akan pupus dengan melihat kebengalan Tetuka.
Pergolakan dalam diri Tetuka atas konvensi-konvensi tradisi berujung pada keputusan untuk meninggalkan rumah dan merantau ke kota. Dalam perantauannya ia bertemu dengan beragam hal yang akhirnya mengantarkannya menemukan jati dirinya. Kesulitan, tantangan, penghinaan menghasilkan perubahan besar dalam hidupnya. Hal-hal tersebut merupakan “kawah Candradimuka” yang ia harus lewati dalam proses penemuan jatidiri.
Semangat perubahan yang dibawa oleh Tetuka mencerminkan realitas generasi muda yang berani mengambil tantangan untuk memunculkan/menciptakan sesuatu yang berbeda/baru meski harus berhadapan dengan konflik-konflik dalam lingkungan sosialnya. Karena pada dasarnya hanya dengan kesulitan dan keyakinan seseorang akan mampu belajar menjadi dewasa.
COPYRIGHT NOTICE
All work within this site: written, images or video are copyright of The Rockies Film unless noted otherwise and cannot be reproduced without the express permission of the owner.
All work within this site: written, images or video are copyright of The Rockies Film unless noted otherwise and cannot be reproduced without the express permission of the owner.